Monday, December 24, 2018

Manchester United: Solskjaer, Zidane, dan Pilihan Figur Manajer.

Figur manajer kerap jauh lebih penting di atas urusan teknis kepelatihan, dalam penunjukkan pemimpin tim yang baru seperti dilakukan Manchester United.

Simaklah bagaimana Ole Gunnar Solskjaer mengembalikan situasi yang positif dan menyenang di Manchester United. Mantan bintang pemain penyerang United membuktikan hal tersebut dengan melakukan debutnya yang gemilang sebagai manajer klub berjuluk Red Devils ini.

Pada pekan pertandingan pekan ke-18 Liga Primer Inggris musim kompetisi 2018-2019 di Stadion Nasional Cardiff, Wales, dinihari tadi, Minggu 23 Desember 2018, Manchester United mengalahkan tuan rumah Cardiff City 5-1.


Kemenangan telak itu memang belum membawa Manchester United meninggalkan peringkat keenam Liga Primer Inggris 2018-19. Tapi, hal itu menghentikan aura buruk dari Red Devils yang diakibatkan dari rentetan kekalahan dan kegagalan kemenangan mereka semasa di bawah asuhan manajer Jose Mourinho.

Kemenangan ini juga tentu saja membawa harapan Manchester United bisa meraih hasil terhormat di liga domestik pada 20 pertandingan berikutnya buat Red Devils sampai akhir musim, Mei 2019.

Solskjaer terkenal dengan ketajamannya saat bermain sebagai penyerang Manchester United selama 11 musim dan menjadi penentu kemenangan Setan Merah terakhir pada final Liga Champions. 

Faktor pengalaman sebagai pemain dan sangat memahami kultur Manchester United itulah yang antara lain menolong Solskjaer melakukan tugas awalnya sebagai manajer sementara Setan Merah. Meski, sebagai manajer, pria Norwegia berusia 45 tahun ini pernah gagal ketika menjadi manajer Cardiff City.

Pesan dari Solskjaer di kamar ganti kepada para pemain yang terungkap setelah pertandingan membuktikan bagaimana ia berhasil membangkitkan motivasi dan permainan anak-anak asuhannya di Setan Merah ini dengan cara yang serhana tapi berdaya guna tinggi.

“Hanya bekerja lebih keras dari mereka,” adalah apa yang dikatakan Solskjaer kepada para pemainnya.

“Nikmati dirimu sendiri, mainkan umpan-umpan bola untuk maju dan maju terus. Jika kalian kehilangan bola, saya tidak keberatan, selama kalian berusaha merebutnya kembali,” Solskjaer melanjutkan.

Solskjaer mengubah wajah murung yang terus dibawah Mourinho. Paul Pogba dan kawan-kawan bermain dengan lebih riang. Dan, meluncurlah gol-gol cepat dari Marcus Rashford ketika pertandingan baru berjalan tiga menit, Ander Herrera menit ke-29, Athony Martial (41), Jesse Lingard (57 penalti, 90).

Adapun satu-satunya gol balasan dari Cardiff dihasilkan dari tendangan eksekusi hadiah penalti oleh Victor Camarasa pada menit ke-38.

Ada banyak kritik ketika Manchester United memilih Ole Gunnar Solskjaer sebagai pengganti manajer Jose Mourinho yang dipecat di tengah jalan dalam musim ketiganya, Selasa lalu.

Solskjaer sudah berpengalaman menjadi manajer ketika pensiun sebagai pemain Manchester United, yaitu memimpim tim cadangan United, memanajeri Cardiff City –dan, gagal pada 2014-, serta terakhir menangani klub asalnya, Molde, di Liga Norwegia.

Tapi, prestasi Solskjaer sebagai manajer selain dipecat dari Cardiff City, setelah tim terdegradasi dari Liga Primer setelah musim 2014 adalah tidak mencuat.

Hanya tim pemilih dari Manchester United memiliki pertimbangan khusus, antara lain soal figur yang bisa menenteramkan suasana di kamar ganti pemain. Meski tentu saja, Solskjaer juga bukan “orang kemarin sore” di dunia kepelatihan.

Adapun untuk urusan teknis yang lebih rinci di lapangan ada tangan kanan Alex Ferguson yang didatangkan kembali, Mike Phelan, sebagai asisten manajer dari Solskjaer. Selain itu ada Michal Carrick, junior Solskjaer di Manchester United, dan beberapa pelatih lain yang sudah bekerja sejak era Jose Mourinho.

Dengan pemain yang rata-rata berkualitas tinggi –Paul Pogba dan kawan-kawan- yang dibutuhkan adalah lebih dari ururusan strategi di lapangan, melainkan strategi secara keseluruhan –teknis dan nonteknis.

Jauh sebelum penunjukkan Solskjaer ini, bisa dilihat bagaimana Real Madrid dengan jeli memilih Zidene Zidane sebagai manajer tim atau pelatih kepala menggantikan Rafael Benitez.

Zidane di dunia kepelatihan adalah orang “kemarin sore” dibandingkan  Benitez dan manajer Madrid sebelumnya, Jose Mourinho. Tapi, seperti sosok Solskjaer di Manchester United, Zidane adalah salah satu legenda di Real Madrid sebagai pemain.

Karisma Zidane inilah yang meluruhkan hati Cristiano Ronaldo dan kawan-kawan –para bintang kelas dunia- di kamar ganti pemain. Hasilnya, Zidane membawa Real Madrid menjuarai Liga Champions tiga kali beruntun.

Manajer tim –dan, bukan seperti fungsi manajer urusan umum, Oliver Bierhoff, di tim nasional Jerman- memang kelasnya di atas pelatih kepala. Ia bisa menjangkau urusan pemilihan pemain dalam transfer misalnya.

Manajer tim yang hebat tak harus mesti sukses sebagai pemain. Adalah Jose Mourinho sendiri sebagai salah satu contohnya sebelum mengalami kemerosotan pada kondidi terakhir di United. Dan, tentu saja di Old Trafford, akan selalu dikenang sosok manajer Sir Alex Ferguson itu.

Kini ada tren sejumlah klub di Liga Inggris mereduksi peran para pelatih mereka dari status manajer kemudian “hanya” menjadi pelatih kepala. Antonio Conte, misalnya, terpental dari Chelsea setelah ia uring-uringan kapasitasnya sebagai manajer dipreteli.

Penyebutan manajer dan pelatih (kepala) ini sering disamaratakan begitu saja. Tapi, sebenarnya, ada perbedaan yang khas. Dan, apapun perbedaannya –di Indonesia belum pernah ada pelatih tim nasional yang dinaikkan statusnya menjadi  manajer-, pemimpin tim di lapangan memang butuh lebih dari sekadar kecakapan teknis. Ia bisa bernama Ole Gunnar Solskjaer, Zinedine Zidane, Alex Ferguson, atau mendiang Johan Cruyff.

No comments:

Post a Comment

Klassemen Liga Spanyol Sesudah Barcelona Menekuk Real Betis 4-1

Barcelona sukses menaklukkan tuan-rumah Real Betis dengan score 4-1 dalam pertandingan minggu ke-28 Liga Spanyol di Stadion Benito Villamari...